Rabu, 26 November 2008

Melepas Lelah di Talung Sebelum Menuju Lembah Ramma, Gng Bawakaraeng

2 komentar:

taZyndRomE mengatakan...

salam rimba :p

hehehe...begitulah bro awal terciptanya modipala, teman2 sesama hobi saling kumpul dan berbuat sedikit 'gila'.

salam kenal jg dr anak2 modipaLa. walopun beberapa anggotanya sdh pada 'kabur' dr makassar, tp mudah2an kita bs bertemu diAlam.

oia...blog ta sa kasih masuk di daftar link blog modipala nah?

thanks

QQ Production mengatakan...

Salam dari Alam,

Ada yang menggetarkan hati setelah melihat foto pada “Melepas Lelah di Talung Sebelum Menuju Lembah Ramma, Gng Bawakaraeng”. Bagi orang awam, hal itu mungkin terkesan sedikit lucu. Bagaimana mungkin gambar enam orang anak muda yang sedang duduk santai menghadap ke “kerendahan” di bawahnya mampu membuat hati tergetar??? Apalagi mereka bukan Celebrity, hehehehe….

Tapi bagi yang pernah berada di tempat keenam anak muda tersebut duduk, barangkali akan menganggukkan kepala tanda setuju. Kenangan-kenangan saat menuju atau berada di tempat tersebut sekonyong-konyong akan menyeruak di benak tanpa bisa dihalangi. Apalagi kalau mengetahui bagaimana muasal dan proses pembuatan rute tersebut.

Sekedar info…

Tempat tersebut adalah satu bagian “full bonus” dari sebuah rute panjang yang dulu kami sebut dengan “Jalur TWKM ‘92”. Sejatinya, rute tersebut memang dibuat, dipersiapkan dan digunakan secara resmi pertama kali pada saat KORPALA UNHAS menjadi panitia dan tuan rumah agenda tahunan pertemuan Mahasiswa Pencinta Alam se-Indonesia - lebih dikenal dengan nama Temu Wicara dan Kenal Medan (TWKM) - untuk bidang Gunung Rimba. Entry point-nya di dusun Lembang Bu’ne (BC Lompobattang) dan berakhir di Lembanna (BC Baweakaraeng), dengan melewati sebagian besar ridge pegunungan Lompobattang. Lengkapnya adalah Lembang Bu’ne-Puncak Lompobattang-Ko’bang-Makkayya (Batu Komodo)-Lembalohe (Lembah Lowe)-Je’neberang (Sungai Slank)-Ramma-Pos 1-2 Bawakaraeng-Lembanna. Setidaknya terdapat tiga crux (meminjam istilah panjat tebing) pada rute ini yaitu, pos 9 (pos 8 versi KORPALA)-puncak Lompobattang-Ko’bang, Makkayya-Lembalohe dan mendekati S. Je’neberang.

Proses pembuatannya secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pada kegiatan Orienteering yang dilakukan awal tahun 1992 oleh anggota KORPALA UNHAS plus seorang simpatisan bernama Nurdin. Saat itu, tim dibagi menjadi dua yaitu, Tim Lompobattang (BC Lembang Bu’ne) dan Tim Bawakaraeng (BC Lompobattang). Kedua tim berangkat via jalur normal dengan Meeting Point di Lembalohe.

Ketidaksamaan rute Tim Lompobattang dengan rute sekarang hanya pada lintasan ridge puncak Lompobattang-Ko’bang-Makkayya-Lembalohe. Mereka dulu menyipir di bawah ridge (sisi utara) Lompobattang ke arah bibir bawah pos 13 Bawakaraeng. Makanya, mereka muncul di ridge kembali di bagian atas, kira-kira sebelah utara Col terakhir menuju Lembalohe sekarang. Sementara perbedaan rute tim Bawakaraeng dengan rute sekarang adalah lintasan Ramma-Pos 1-2 Bawakaraeng-Lembanna. Lintasan yang digunakan Orienteering dulu adalah Lembanna-Pos 3-4 Bawakaraeng-Ramma.

Bagian Kedua dari pembuatan rute ini adalah survey TWKM yang kesemuanya dilakukan uleh anggota-anggota KORPALA UNHAS pada Mei-Agustus 1992. Sedikitnya lima kali survey dibutuhkan sebelum memutuskannya sebagai fix route dengan pemasangan rambu.

Dari tinjauan peta Army tahun 1940-an, Ramma sendiri sebenarnya bukan lembah melainkan nama sebuah puncak kecil yang terdapat di sekitar area plateau tersebut. Sementara Taloeng adalah nama sebuah puncak dekat tempat keenam anak muda tadi duduk. Sebenarnya masih ada puncak yang letaknya lebih dekat dibanding Taloeng yaitu, Taboeakang. Makanya, kami dulu lebih senang menyebutnya Tabuakang dibanding Talung. Namun pada peta keluaran Bakosurtanal di era yang lebih muda, puncak tersebut tidak lagi tercantum. Mungkin karena itu, tempat tersebut lantas lebih dikenal dengan Talung kini.

Tapi, seperti kata Shakespeare, apalah arti sebuah nama. Yang penting bagi gunung adalah bagaimana kita mendatanginya dengan hati dan pikiran yang terbuka. Sebab bukankah kita kesana hanya karena mengikuti kata hati dan dorongan pikiran saja?

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melebihkan sesuatu atau mengurangi sesuatu yang lain, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab moril kepada pelanjut kegiatan alam bebas khususnya dunia pendakian gunung lokal. Betul-betul cuma itu, tidak kurang dan tidak lebih.

Mudah-mudahan setidaknya ada seorang anak muda Makassar yang nanti sempat menceritakan rasanya berdiri di Everest. Tidak seperti kami yang sekarang mungkin hanya bisa menanti impian itu terwujud.


Manado saat Tahun Baru 2009


Wim de Gos